Legal Certainty of The Status of 3 (Three) Kilograms of Gas As A Strategic Goods Free From VAT (Value Added Tax)

Main Article Content

Mulyadi Mulyadi

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konflik norma yang timbul akibat diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Liquefied Petroleum Gas (LPG) tertentu, khususnya LPG tabung 3 kg subsidi, terhadap regulasi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. PMK tersebut menetapkan bahwa bagian harga LPG 3 kg yang tidak disubsidi dikenakan PPN dan wajib dipungut oleh agen hingga ke tingkat pangkalan, yang kemudian dibebankan kepada konsumen akhir. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan beberapa peraturan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.


Melalui pendekatan yuridis normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tarsier. Di samping itu juga digunakan data premium sebagai pung data sekunder analisis data dilakukan dengan metode analisis yuridis normatif, penelitian ini menemukan bahwa PMK 62/2022 tidak sejalan dengan prinsip hierarki norma hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, di mana norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.


Penelitian ini menyimpulkan bahwa PMK 62/2022 merupakan bentuk konflik norma vertikal yang tidak hanya bertentangan dengan hukum positif yang lebih tinggi, tetapi juga bertentangan dengan asas keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, diperlukan revisi kebijakan atau pencabutan regulasi tersebut demi memastikan keselarasan hukum, kepastian hukum, dan perlindungan terhadap masyarakat rentan.

Article Details

Section
Articles
Author Biography

Mulyadi Mulyadi, Universitas Bung Karno, Jakarta, Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam konflik norma yang timbul akibat diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Liquefied Petroleum Gas (LPG) tertentu, khususnya LPG tabung 3 kg subsidi, terhadap regulasi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. PMK tersebut menetapkan bahwa bagian harga LPG 3 kg yang tidak disubsidi dikenakan PPN dan wajib dipungut oleh agen hingga ke tingkat pangkalan, yang kemudian dibebankan kepada konsumen akhir. Kebijakan ini menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan beberapa peraturan yang lebih tinggi, seperti Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.Melalui pendekatan yuridis normatif yang dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan sehubungan dengan permasalahan. Data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tarsier. Di samping itu juga digunakan data premium sebagai pung data sekunder analisis data dilakukan dengan metode analisis yuridis normatif, penelitian ini menemukan bahwa PMK 62/2022 tidak sejalan dengan prinsip hierarki norma hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen, di mana norma yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.Penelitian ini menyimpulkan bahwa PMK 62/2022 merupakan bentuk konflik norma vertikal yang tidak hanya bertentangan dengan hukum positif yang lebih tinggi, tetapi juga bertentangan dengan asas keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, diperlukan revisi kebijakan atau pencabutan regulasi tersebut demi memastikan keselarasan hukum, kepastian hukum, dan perlindungan terhadap masyarakat rentan.